Copas dari tulisan di FB milik Wendi Zarman, dengan seijin dan sepengetahuannya.
Kepada sahabat saya Argi :
Bismillahirrahmanirrahiim. Kebanyakan orang menganggap kebahagiaan itu berasal dari luar diri, makanya sering dikatakan “mencari kebahagiaan” atau “mengejar kebahagiaan.” Orang sering merasa bahagia jika punya cukup makan, harta, status sosial, istri/suami, dan sejenisnya. Semua ini adalah sesuatu yang ada di luar diri manusia. Memang, ini juga suatu bentuk bahagia tapi sifatnya sementara.
Orang miskin sangat berharap menjadi kaya, ketika kaya dia sangat bahagia. Tapi setelah hidup kaya raya dalam waktu singkat dia bosan dengan kekayaannya, atau merasa kurang sehingga terus bekerja mati-matian untuk mendapat lebih banyak, atau khawatir hartanya dicuri orang lain. Artinya dia tidak bahagia lagi dengan hartanya. Begitu juga, mahasiswa ketika dinyatakan lulus sidang, bahagianya luar biasa, tapi setelah sebulan dua bulan semua menjadi biasa. Pertama kali beli hp mahal senangnya bukan main, setelah 3 mulai bosan dan ingin membeli yang baru. Semua harapan-harapan duniawi selalu berakhir dengan situasi semacam ini.
Kebahagiaan yang lebih tinggi adalah kebahagiaan ruhani. Ada orang makan saja kurang, harta pun tidak punya, tapi juga tidak pernah mengeluh. Orang semacam ini biasanya sudah prinsip hidup dan tidak terikat oleh dorongan-dorongan keduniaan. Dia sudah berhasil mengendalikan hawa nafsunya dan terdorong untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih tinggi nilainya. Misalnya, ada orang yang rela menghabiskan uangnya untuk membuat menampung anak-anak yatim. Ada pula orang yang rela pergi ke Antartika hanya untuk menyelidiki ikan paus. Ada ustadz yang tidak keberatan jauh dari kampungnya untuk berdakwah dan membuat pesantren di pedalaman Kalimantan. Ini pun juga sebuah bentuk kebahagiaan.
Kebahagiaan sesungguhnya akan diuji ketika seseorang berhadapan dengan kematian. Kematian adalah misteri terbesar kehidupan. Apa yang ada di balik kematian akan selalu membayangi kehidupan manusia. Manusia paling brengsek atau ateis pun pada satu saat akan sampai kepada pertanyaan, apa yang akan terjadi setelah saya mati, minimal di saat menjelang kematiannya. Orang yang ragu atau tidak pasti mengenai apa yang akan dihadapinya setelah kematian adalah orang yang paling tidak bahagia dalam hidupnya, dan sebaliknya mereka yang paling yakin dengan apa yang akan dihadapinya setelah mati adalah orang yang paling bahagia. Keraguan adalah penyebab ketidakbahagiaan terbesar manusia.
Sesungguhnya, bagaimana kita keyakinan kita tentang kehidupan setelah kematian akan mempengaruhi cara kita menjalani hidup.
Jadi, bahagia adalah tentang keyakinan dan kepastian terhadap apa yang akan kita hadapi di masa depan, yaitu setelah kematian. Di dalam Islam kita diajarkan meyakini akan adanya kehidupan setelah mati, tentang hari pembalasan atas apa yang diperbuat manusia. Keyakinan ini memberi kita kepastian tentang apa yang akan dihadapi setelah mati. Keyakinan ini kemudian memberi alasan bagi kita untuk mengerjakan apa yang harus kita kerjakan di dunia, yaitu beribadah dan beramal shalih. Bila kita menghiasai kehidupan ini dengan kedua hal ini, maka hal ini bukan saja memberi kebahagiaan dalam kehidupan dunia, tetapi juga akhirat. Inilah kebahagiaan sejati.
Problem orang sekarang adalah ketidakmauan mereka memikirkan kematian. Kehidupan duniawi terlalu penting untuk dilewatkan. Bisnis, karir, proyek, dan peluang-peluang lainnya terasa berat ditinggalkan. Akibatnya mereka dibelenggu oleh hal-hal itu dan tidak punya waktu memikirkan hakikat kehidupannya sendiri. semua itu menyengsarakan, tapi mereka tetap saja percaya semua itu akan membawa mereka kepada kebahagiaan hakiki, bagaikan orang yang meminum air laut, semakin di minum semakin dahsyat rasa hausnya. Inilah yang saya maksud dengan “Most people think they know what true happiness is, in fact they don’t…” Wallahu a’lam bish shawab.